Cerpen "TAKDIR" Karya Tini Sulasmi
Unsur Intrinsik Cerpen
1. Tema : Percintaan
2. Amanat :
• Dalam
menghadapi hal apapun harus bersikap dewasa dan berpikir panjang.
• Sabarlah
dalam menjalani kehidupan ini.
• Percaya
dengan takdir tuhan
• Jangan
menggunakan kekerasan dalam bertindak
• Patuhilah
dan hormati orang tua kita
• Jangan
menyesali sesuatu yang sudah terjadi
• Jangan
melamun dan tak fokus sewaktu pelajaran
3. Alur : Campuran
4. Setting :
• Kamar
tari pukul 17.15
• Kelas
sehabis jam istirahat sekolah
• Jam
7 malam di ruang menonton TV
• Kamar
setelah sholat isyak
• Rumah
di jalan Araya
• Jam
15.00 di rumah Tari
5. Penokohan/perwatakan :
• Tari
: sabar, tabah, tertutup, kuat, taat beribadah, pelamun.
• Audra
: tidak dewasa, perhatian, pemalu
• Yanti
: medok, baik, perhatian, suka, melucu, setia kawan
• Bapak
: keras kepala, pemaksa, egois, suka memukul, mudah emosi
• Bunda
: sabar, penyayang, perhatian, lemah lembut, rela berkorban
• Bejo
: Usil, medok, nakal
• Bu
Tartik : Pemarah, tegas, killer
• Papa
: Egois
6. Sudut pandang : Orang ketiga
serba tahu
Takdir
Gerimis tak
berhenti juga, ditambah dengan Tari yang sejak pulang dari sekolah tadi tak
keluar-keluar dari kamarnya. Padahal jam dinding hadiah dari temannya sudah
menunjukkan pukul 17.15. Itu berarti adzan magrib semakin dekat.
Tari kembali
melirik buku bututnya. Aduh! Susahnya, ia membanting napas kesal isi buku yang
dibacanya dari tadi belum masuk juga ke otaknya. Karena capek, ia selonjoran di
kasur bunga mawarnya itu. Tapi ia malah teringat oleh mantannya. Ditariknya foto
tu dari dompetnya. Huh, seandainya! Adu, dia melulu. Malas ah!
Ia sekejap
langsung menyembunyikan benda kenangannya dengan Audra itu di dompetnya.
Bodohnya aku! Cewek berambut panjang hitam itu mengeluh, namun penyesalan yang
menginjak-nginjak batinnya nggak pergi-pergi juga. Iih, Tari menggumam. Kenapa
aku dulu menyia-nyiakannya,ya? Ga dewasa, kurang bersyukur? Atau, dia yang
terlalu seperti anak kecil?
Kenangan itu
masih tertempel di otak Tari, saat sosok yang dikenangnya itu memberikan surat
kepadanya. Surat yang isinya mengajak Tari putus dengannya. Memang sosok Audra
yang seperti anak kecil, pemalu, pintar, berkulit cokelat, wajahnya yang
bersih, dan bertubuh tinggi itu bukan termasuk tipe Tari. Tapi ia sulit untuk
memutuskan putus atau tidak pada saat itu. Selama ini semenjak putus dengan
Audra, ia sering berkhayal, berkhayal seandainya ia bisa lebih berpikir dewasa
lagi. Namun yang sudah terjadi tidak bisa kembali lagi.
Daripada ia
teringat dengan kekerasan bapaknya, ia mending terlintas kenangannya dengan
Audra. Plak!! Batin Tari tergoncang, tamparan bapaknya ke bundanya itu sampai
menggerakkan gendang telinganya. Bapak, Bapak! Cukup! Tari berlari menangis.
Tak heran kalau Tari terkadang berdiam diri di kelasnya. Wajah gelisahnya
membuat dirinya penuh dengan misteri. Tapi sesungguhnya ia termasuk perempuan
sabar dan kuat karena ia dapat bertahan dengan kondisi keluarga seperti itu.
Tet tet tet!
Bunyi bel sekolah Tari berdenting, yang menandakan jam istirahat telah usai.
Namun Tari masih tetap duduk terenung di bangkunya sampai Yanti sobatnya itu
membangunkannya dari lamunannya.
“Tar!”
“Ei, kowe kok ngelamun aja toh?”
“Iya nih, lagi pusing aku.”
“Ooo, makanya kowe kok nggak
sholat dhuha, biasanya kowekan rajin gitu.”
“He, itu itu Audra!” Yanti menyoel-nyoel
Tari. Paan sih! Kalau kamu suka dia jangan kayak gini dong! Alah yang suka aku
apa kowe, Ihiir!! Yanti menyindir sobatnya itu.
Tapi dengan
kelucuan sahabatnya itu, akhirnya Tari dapat tersenyum yang sejak kemarin ia
terus menangis dan bersedih karena bapaknya itu menampar bundanya yang tak
sengaja mengingatkan bapaknya untuk tidak merokok dan pulang malam. Yan, aku
tuh udah putus dengannya! Tari menyela sobatnya denan menahan ketawa sebab
melihat wajah Yanti yang berekspresi kayak “Aming” komedian itu.
Tentu saja
Tari nggak akan mengatakan ke Yanti kalau ia sedang sedih dan menangisi
takdirnya. Batas bercerita tetap ada. Dan Tari tak ingin sobatnya itu bersedih
lantaran kehidupannya yang menyedihkan.
Dan siang itu
meskipun Tari mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia, tapi pikirannya masih
melayang kemana-mana. Seandainya Audra masih menjadi kekasihku! pasti masalahku
akan reda dengan adanya dirinya. Huh malangnya nasibku. Eiiiiihh!! Teriakannya
membuat sekelas gaduh dan kaget. Ini berawal dari Bejo yang menepuk bahu Tari.
“Tar,
hihihihi, ngelamun aja, kesambet lo entar!” Bejo pura-pura tak ngerti
kesalahannya. Padahal gara-gara dia Tari dipanggil ke depan oleh Bu Tartik,
guru paling killer di sekolah.
“Tari! Maju ke depan.”
“Oh, My God!”
“Bilang apa kamu tadi ?”
“Ndak Bu, ndak!”
Semua teman
Tari tertawa sambil menahan ketawa karena tak ingin Bu Tartik mendengar ketawa
mereka, namun tidak dengan Yanti dan Audra. Mereka terlihat sedang berpikir
sesuatu.
“Ono opo ya ma Tari ?”
“Iya ya, ada apa dengan Tari, apa
gara-gara aku ?”
Teman sebangku
Yanti dan yang tak lain adalah Audra mencetuskan kata-kata seperti itu. Dan
membuat Yanti terkejut dan berpikir apa sebenarnya mereka berdua masih saling
suka.
Tapi…………
Di lain posisi, Bu Tartik
memarahi Tari abis-abisan.
“Tariiiii,
kamu itu! Kalau kamu tidak ingin mengikuti pelajaran saya. Kamu jangan
menganggu pelajaran Ibu!” muka Tari yang memerah membuat dirinya tampak habis
makan 100 cabe merah keriting yang biasa dilihatnya di dapur ketika ia memasak
dengan bundanya.
Tet tet tet tet tet tet…………
Untung
penderitaan Tari berhenti juga, bel sekolah yang memengakkan telinga itu
menyelamatkan hidupnya hari ini. Tak hanya Tari, teman-temannya juga
terselamatkan. Karena mereka ingin sekali tak mengikuti pelajaran ini. Tapi
begitu melihat Bu Tartik, akhirnya mereka mengikutinya.
“Duduk kamu! Ketua kelas pimpin
doa!”
“Iya Bu.” Tari dan ketua kelasnya
menyahut bersama. Setelah Bu Tartik keluar dari kelas, Yanti dengan tas merah
stroberinya itu langsung menyambar Tari. Tar kowe kenapa?
“Iya, kamu kenapa ?”
Oh My God, Audra! Tari yang
semula cemberut langsung bersinar-sinar ketika Audra menghampiri dan perhatian
kepadanya.
“Aku nggak apa-apa kok Dra! Aku
cuma cuma……..”
“Cuma ngelamunin kamu Dra.” Bejo
menyela perkataan Tari namun Yanti membela sobatnya.
“Bejo! kowe ojo ngono.”
“Nggak nggak, aku lagi pusing
aja, kamu nggak pulang Dra ?” Tari mengalihkan suasana dan itu berhasil.
“Ya uda, aku pulang dulu ya.”
Audra melirik Tari dengan senyumnya yang bisa membuat Tari mabuk kepayang. Bejo
pun mengikutinya dari belakang.
“Tar, kowe bener-bener pusing ta
?”
“Ehmm, nggak sih, aku tadi lagi
mikirin Audra tapi gara-gara Bejo tukang usil itu, aku jadi dicereweti Bu
Tartik deh.”
“Ooo, emang kowe tuh!”
“Eeemang!!!” Tari menggoda
sobatnya itu dan merangkulnya agar Yanti segera pulang dengannya. Lalu mereka
harus masih menunggu kendaraan warna biru berlabelkan “AMG”(Arjosari-Gadang)
itu.
Jam 7 malam …………
Bapak sedang
menonton TV dan bapak memanggil Tari. Tak biasanya bapak mau bicara dengan
Tari. Tari, sini!Bapak mau ngomong. Besok akan ada keluarga teman Bapak yang
mau melamarmu, jadi besok kamu harus langsung pulang setelah jam sekolah
selesai.
“Tapi Pak, saya masih sekolah,
masak mau dilamar.”
“Kamu bisa tunangan dulu dan
setelah lulus dari kuliah, kamu baru menikah dengannya!”
Bapak tidak
mau mendengar alasan apapun dari Tari. Jika Bapak sudah bicara A, maka Tari
harus mengikutinya. Tari tak tahu harus bagaimana, tak harus berbuat apa. Tari
bingung! Tari harus bagaimana ya Allah ? Bunda mengetuk pintu kamar Tari dan
setelah bunda masuk, mereka terlibat dalam pembicaraan.
“Sabar ya anakku, Bunda selalu
disini menemanimu.” Mereka menangis berdua. Keesokan harinya Tari tak masuk
sekolah karena untuk masuk, ia terlalu capek. Capek menangis semalaman. Ini
merupakan takdir atau hanya kebetulan saja, Audra juga tak masuk. Entah apa
alasannya. Di sebuah rumah di jalan araya itu, ada perbincangan antar keluarga.
“Papa, Audra tak mau dijodohkan!”
“Nak, dia baik buat kamu!
Terserah alasan kamu apa, yang penting sekarang kamu siap-siap untuk sore
nanti!”
“Pa!!!”
Jam di kamar
Tari sudah menunjukkan pukul 15.00 dan sebentar lagi ia akan dilamar. Bun! Aku
nggak mau pake kebaya ini, ia melempar kebaya berwarna putih jika dipakenya
akan pas di badannya yang ramping itu. Bunda, aku mau dengan perjodohan ini
hanya karena agar Bunda tak disakiti Bapak! Tari memperjelas alasannya kepada
Bundanya. Mendadak sebuah sedan hijau masuk pelan ke halaman rumah Tari dan
berhenti tepat di depan teras. Bapak menyambut keluarga itu. Namun ada yang
aneh, anak laki-laki dari keluarga itu terlihat murung dan malas sama seperti
Tari. Selamat datang! Silahkan masuk. Bapak mempersilahkan mereka masuk.
Dibantu dengan
bunda, ia segera memakai sepatu highheels warna putih mengkilat itu dengan
buru-buru. Meskipun terpaksa, Tari akhirnya keluar dan menemui keluarga
pelamarnya.
Ketika Tari
bertatap muka dengan anak laki-laki berjas hitam dengan kerah terbuka yang
terlihat tampan saat itu, ia serasa mau pingsan di tempat. Apa kamu?kamu?? Tari
terheran dengannya.
“Ya benar, aku
Audra!” Dia memang Audra, mantanku. Oh, takdir macam apakah ini? Secara reflek,
Tari langsung memeluk Audra dan ……………
“Tar,Aku sayang kamu!”
“Aku juga Dra, aku sayang kamu!”
Comments
Post a Comment